BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAK CIPTA


BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAK CIPTA

Umumnya pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pencipta dan pemegang izin hak cipta. Perbuatan para pelaku jelas melanggar fatsoen hukum yang menentukan agar setiap orang dapat mematuhi, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain dalam hubungan keperdataan termasuk penemuan baru sebagai ciptaan orang lain yang diakui sebagai hak milik oleh ketentuan hukum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar HKI menurut Parlugutan Lubis antara lain adalah (1) pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keun-tungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut; (2) para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum; (3) ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI; (4) dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan (5) masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.
Dampak dari kegiatan tindak pidana hak cipta tersebut telah sedemikian besarnya merugikan terhadap tatanan kehidupan bangsa di bidang ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang sosial budaya, misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap dan pandangan bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan tidak lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang (wet delicten). Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang (developing countries) karena ia dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar (pembajak) dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan pemantauan tindak pidana hak cipta.
Harus diakui, upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran hak cipta selama ini belum mampu membuat jera para pembajak untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena upaya penanggulangannya tidak optimal.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apa pun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang atau. melanggar perjanjian. Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenan-kan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal, yakni (1) merugikan pencipta/pemegang hak cipta, misalnya mem-foto kopi sebagian atau selurulnya ciptaan orang lain kemudian dijual/belikan kepada masyarakat luas; (2) merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan atau; (3) bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact disc (vcd) pomo. Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, misalnya dalam perjanjian penerbitan karya cipta disetujui untuk dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, tetapi yang dicetak/diedarkan di pasar adalah 4.000 eksemplar. Pembayaran royalti kepada pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2.000 eksemplar bukan 4.000 eksemplar. Ini sangat merugikan bagi pencipta.
Pelanggaran hak cipta menurut ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tanggal 15 Pebruari 1984 dapat dibedakan dua jenis, yakni (1) mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut plagiat atau penjiplakan (plagiarism) yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku, lagu dan notasi lagu, dan (2) mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta dan penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan gambar (vcd), karena menyangkut dengan masalah a commercial scale.
Pembajakan terhadap karya orang lain seperti buku dan rekaman adalah salah satu bentuk dari tindak pidana hak cipta yang dilarang dalam undang-undang hak cipta. Pekerjaannya liar, tersembunyi dan tidak diketahui orang banyak apalagi oleh petugas penegak hukum dan pajak. Pekerjaan tersembunyi ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari penangkapan pihak kepolisian. Para pembajak tidak akan mungkin menunaikan kewajiban hukum untuk membayar pajak kepada negara sebagaimana layaknya warga negara yang baik. Pembajakan merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan iptek di bidang grafika dan elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum (illegal) oleh mereka yang ingin mencari keuntungan dengan jalan cepat dan mudah.
Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok, yakni :
(1) Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijak-sanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan dan ketertiban umum;
(2) Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan vcd bajakan;
(3) Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
Dari ketentuan Pasal 72 tersebut, ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat diancam dengan sanksi pidana. Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang. Termasuk pelaku utama ini adalah penerbit, pembajak, penjiplak dan pencetak. Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang hak cipta. Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang.
Kedua golongan pelaku pelanggaran hak cipta di atas, dapat diancam dengan sanksi pidana oleh ketentuan UU No. 19 tahun 2002. Pelanggaran dilakukan dengan sengaja untuk niat meraih keuntungan sebesar-besanya, baik secara pribadi, kelompok maupun badan usaha yang sangat merugikan bagi kepentingan para pencipta.

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA

Barang-barang yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar, selain merugikan bagi penerimaan royalti para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat konsumen. Kerugian ini jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua pihak, terutama para pencipta/pemegang izin. Daya kreatif dan inovatif para pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak cipta terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan menindak para pelakunya. Negara melalui aparat penegak hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung harus bertanggung jawab dengan adanya peristiwa ini dengan berupaya keras melakukan penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak cipta. Apabila tidak ada penegakan hukum yang konsisten terhadap para pelanggar, maka akan sulit terwujudnya suatu perlindungan hukum terhadap hak cipta yang baik. Masalah ini telah menjadi tuntutan masyarakat internasional terhadap bangsa dan negara Indonesia yang dinilai masih rendah untuk menghargai HAKI.
Pengaturan standar minimum perlindungan hukum atas ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta dan jangka waktu perlindungan dalam Konvensi Bern adalah sebagai berikut. Pertama, ciptaan yang dilindungi adalah semua ciptaan di bidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni dalam bentuk apa pun perwujudannya. Kedua, kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi, pembatasan atau pengecualian yang tergolong sebagai hak-hak ekslusif seperti (a) hak untuk menerjemahkan, (b) hak mempertun-jukkan di muka umum ciptaan drama musik dan ciptaan musik, (c) hak mendeklamasikan di muka umum suatu ciptaan sastra, (d) hak penyiaran, (e) hak membuat reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apa pun, (f) hak menggunakan ciptaannya sebagai bahan untuk ciptaan, dan (g) hak membuat aransemen dan adapsi dari suatu ciptaan.
Selain hak-hak ekslusif di atas, Konvensi Bern juga mengatur sekumpulan hak yang dinamakan dengan hak-hak moral (moral rights). Hak moral adalah hak pencipta untuk mengklaim sebagai pencipta atas suatu hasil ciptaan dan hak pencipta untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud untuk mengubah, mengurangi atau menambah keaslian ciptaan, yang akan dapat meragukan kehormatan dan reputasi pencipta pertama.
Hak moral seorang pencipta menurut pendapat A. Komen dan D.WS Verkade mengandung empat makna. Pertama, hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman ciptaannya. Kedua, hak untuk melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya, dan hak untuk menarik dari peredaran ciptaan yang telah diumumkan kepada publik. Ketiga, hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain. Keempat, hak untuk mencantum-kan nama pencipta, hak untuk tidak menyetujui setiap perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan, dan hak untuk mengumumkan sebagai pihak pencipta setiap waktu yang diinginkan. Hak ini mempunyai kedudukan sejajar dengan hak ekonomi yang dapat dimiliki seorang pencipta atas suatu hasil ciptaannya.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur dalam undang-undang untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta oleh orang-orang yang tidak berhak. Apabila terjadi pelanggaran, maka pelang-garan itu harus diproses secara hukum, dan bilamana terbukti melakukan pelanggaran akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang hak cipta. UU No. 19 Tahun 2002 mengatur jenis-jenis perbuatan pelanggaran dan ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun pidana. UU ini memuat sistem deklaratif (first to use system), yaitu perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemegang/pemakai pertama atas hak cipta. Apabila ada pihak lain yang mengaku sebagai pihak yang berhak atas hak cipta, maka pemegang/pemakai pertama harus membuktikan bahwa dia sebagai pemegang pemakai pertama yang berhak atas hasil ciptaan tersebut. Sistem deklaratif ini tidak mengharus-kan pendaftaran hak cipta, namun pendaftaran pada pihak yang berwenang (cq Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Depkeh RI) merupakan bentuk perlindungan yang dapat memberikan kepastian hukum atas suatu hak cipta.
Apakah suatu perbuatan merupakan pelanggaran hak cipta, harus dapat dipenuhi unsur-unsur yang penting berikut ini. Pertama, larangan undang-undang. Perbuatan yang dilakukan oleh seorang pengguna hak cipta dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Kedua, izin dan persetujuan (lisensi). Penggunaan hak cipta dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik atau pemegang izin hak cipta. Ketiga, pembatasan undang-undang. Penggunaan hak cipta tidak melampaui pada batas-batas ketentuan yang telah ditetapkan undang-undang. Keempat, jangka waktu. Penggunaan hak cipta dilakukan dalam jangka waktu perlindungan tertentu yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau berdasarkan pernjanjian tertulis (lisensi).
Perlindungan hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur-unsur sistem berikut. Pertama, subyek perlindungan. Subyek yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang hak cipta, aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar hukum. Kedua, obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua jenis hak cipta yang diatur dalam undang-undang. Ketiga, pendaftaran perlindungan. Hak cipta yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan dibuktikan pula dengan adanya sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang mengatur lain. Keempat, jangka waktu. Jangka waktu adalah adanya hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak cipta, yakni selama hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kelima, tindakan hukum perlindungan. Apabila terbukti terjadi pelanggaran hak cipta, maka pelanggar harus dihukum, baik secara perdata maupun pidana.
Setiap pelanggaran hak cipta akan merugikan pemilik/pemegangnya dan/atau kepentingan umum/negara. Pelaku pelanggaran hukum tersebut harus ditindak tegas dan segera memulihkan kerugian yang diderita oleh pemilik/pemegang hak atau negara. Penindakan atau pemulihan tersebut diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002. Penindakan dan pemulihan pelanggaran hak cipta melalui penegakan hukum secara (1) perdata berupa gugatan (a) ganti kerugian, (b) penghentian perbuatan pelanggaran, (c) penyitaan barang hasil pelanggaran untuk dimusnahkan. (2) pidana berupa tuntutan (a) pidana penjara maksimal 7 tahun penjara, dan atau (b) pidana denda maksimum sebesar Rp. 5 miliar, (c) perampasan barang yang digunakan melakukan kejahatan untuk dimusnahkan, (3) administratif berupa tindakan (a) pembekuan/pencabutan SIUP, (b) pembayaran pajak/bea masuk yang tidak dilunasi, (c) re-ekspor barang-barang hasil pelanggaran.
Selama ini, pelanggaran hak cipta termasuk dalam delik aduan (klachtdefict). Artinya, penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian bersama instansi terkait atau tuntutan sanksi pidana dapat dilakukan oleh penuntut umum atas dasar pengaduan dari plhak-pihak yang dirugikan, baik para pencipta, pemegang izin, warga masyarakat sebagai konsumen ataupun negara sebagai penenima pajak. Delik aduan ini adalah dalam bentuk delik aduan mutlak (absolute klachidelict), yakni peristiwa pidana yang hanya dapat dituntut bila ada pengaduan. Berlakunya UU No. 19 Tahun 2002, pelanggaran hak cipta menjadi delik biasa yang dapat diancam pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Adanya perubahan ini sebagai upaya pemerintah mengajak masyarakat untuk menghargai dan menghormati HKI mengingat masalah pelanggaran hak cipta telah menjadi bisnis ilegal yang merugikan para pencipta dan pemasukan pajak/devisa negara di samping masyarakat internasional menuding Indonesia sebagai “surga” bagi para pembajak.
Aparat penyidik dalam pelanggaran hak cipta ditentukan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 dan peraturan perundang-undangan lain. Dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 8 Tahun 1981 tercantum dua penyidik yakni pejabat polisi negara Republik Indonesia dan atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Mereka bertugas bersama aparat negara tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Untuk menyelidiki apakah sudah terjadi suatu pelanggaran hak cipta, maka Pasal 71 UU No. 19 Tahun 2002 mengatur tentang penyidik yang dapat melakukan penegakan hukum. Menurut ketentuan pasal tersebut, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Departemen Kehakiman Republik Indonesia dapat diberikan wewenang khusus sebagai penyidik seperti dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat 1 b UU No. 8 Tahun 1981, yakni “pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk bertugas melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta. Mereka ini dapat bertugas sebagai pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan wewenang tertentu.
Penyidik dalam Pasal 71 ayat (2) mempunyai wewenang melakukan tindakan berupa (a) pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang hak cipta, (b) pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang hak cipta, (c) meminta keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan tindak pidana di bidang hak cipta, (d) pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang hak cipta, (e) pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lainnya, (f) melakukan penyitaan bersama pihak kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang hak cipta, dan (g) meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang hak cipta.
Penyidikan oleh PPNS dilakukan setelah ada surat perintah tugas penyidikan, yaitu untuk PPNS pada (1) tingkat kantor wilayah, surat perintah diberikan oleh Kepala Departemen Kehakiman setempat. Kewenangan tugas PPNS tingkat kantor wilayah hanya meliputi wilayah hukum kantor bersangkutan, dan (2) tingkat Direktorat Hak Cipta (nasional), surat perintah diberikan pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Kewenangan tugas penyidik tingkat ini meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Pembagian tugas ini seyogianya dapat mempercepat penanggulangan pelanggaran hak cipta mengingat era globalisasi dengan teknologi semakin canggih, maka dunia saat ini tanpa ada tapal batas yang jelas (borderless world). Selama ini, teknologi baru dengan mudah masuk ke Indonesia tanpa mampu dilakukan tindakan filterisasi dengan ketat oleh pemerintah. Pemanfaatan teknologi informasi seperti intemet menjadi salah satu medium bagi para pelaku kejahatan untuk melakukan pelanggaran hak cipta dengan sifatnya yang mondial, internasional dan melampaui batas atau kedaulatan suatu negara. Cross boundary countries kini menjadi motif yang menarik para penjahat digital.
Dalam melaksanakan tugasnya, PPNS mempunyai kewajiban dalam empat hal, yaitu (1) memberitahukan kepada Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang dimulainya penyidikan; (2) memberitahukan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang perkembangan penyidikan yang dilakukan; (3) meminta petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan kebutuhan, dan (4) memberitahukan kepada Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara apabila penyidikan akan dihentikan karena alasan tertentu yang dibenarkan oleh hukum. Keempat kewajiban dari PPNS itu saling terkait dan terukur dalam rangka untuk mengungkapkan suatu pelanggaran hak cipta di tanah air.
Semua kewajiban di atas bagi PPNS menjadi dasar untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran hak cipta. Akan tetapi PPNS tidak diberi kewajiban atau wewenang untuk melakukan penangkapan dan atau penahanan berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 04. PW. 07. 03 Tahun 1988. Tujuannya adalah agar tugas PPNS tidak tumpang tindih dengan tugas penegak hukum kepolisian dalam rangka penyidikan pelanggaran hak cipta.
Penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh PPNS wajib didasar-kan pada surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri di tempat terjadinya tindak pidana atau di tempat yang banyak ditemukan barang bukti pelanggaran hak cipta. Permohonan surat izin penyitaan harus diketahui oleh Kepala Kantor Departemen Kehakiman setempat dan tembusannya dikirimkan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara.
Berdasarkan ketentuan UU No. 19 Tahun 2002, Penyidik Pejabat Polisi Negara dalam penyidikan hak cipta lebih diutamakan atau dikedepankan pada penegakan hukum hak cipta, sedangkan PPNS mempunyai kewenangan menyidik hanya karena lingkup tugas serta tanggung jawabnya meliputi pada pembinaan terhadap hak cipta. Oleh karena itu, penyampaian hasil penyidikan oleh Penyidik Pelanggaran Hak Cipta kepada Penuntut Umum setelah memperoleh petunjuk yang diperlukan harus melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981.
Perlu diingat, walaupun mempunyai kewenangan menyidik dan menyita barang bukti, PPNS tidak boleh melakukan penangkapan dan/atau penahanan, kecuali tertangkap tangan (caught in the act). Dalam hal ini, PPNS boleh menangkap tersangka tanpa surat perintah selama 1 (satu) hari dan segera menyerahkannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara yang lebih berwenang. Ketentuan demikian harus ditaati penyidik PPNS dalam pekedaannya mengusut pelanggaran hak cipta supaya tidak ada tuduhan “pelanggaran hak asasi manusia” pada hak milik seseorang. Pelanggaran hak cipta tidak semata-mata menonjolkan pada hak perdata pencipta saja, juga pada kepentingan umum dan hak hak asasi orang yang dituduh telah melakukan pelanggaran hukum terhadap hak cipta.
Adanya peristiwa pelanggaran hak cipta merupakan realitas sosial yang menjadi masalah bagi hukum perdata, pidana dan administrasi. Pelanggaran hukum ini menjadi tugas aparat penegak hukum menanggulanginya bekerja sama dengan instansi terkait mengingat setiap pelanggaran hak cipta membawa kerugian yang sangat besar dalam pengembangan dan kemajuan i1mu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra dan secara ekonomis bagi para pencipta, pemegang ijin, masyarakat konsumen dan pendapatan pajak negara.
Pemberian sanksi hukum bagi para pelanggar hak cipta merupakan upaya untuk mencegah dan mengurangi meningkatnya kasus-kasus pelanggaran atas HKI, terutama di Indonesia masih membutuhkan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap HKI. Perbuatan menjiplak, mengkopi, meniru ataupun meng-gelapkan hasil karya orang lain tanpa izin atau sesuai prosedur hukum akan tetap menjadi “pekerjaan rumah” dari petugas penegak hukum dalam melindungi hak-hak para pencipta yang diatur dalam UU Hak Cipta. Akibat pelanggaran itu, selain merugikan kepentingan para pencipta atau pemegang izin, juga masyarakat konsumen dan negara dalam penerimaan pajak/devisa.
Pelanggaran hak cipta dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi (economic crime) dan kejahatan bisnis (business crime). Di sini amat dibutuhkan fungsionalisasi hukum pidana, yakni upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret yang melibatkan tiga faktor, yaitu faktor perundang-undangan, aparat/badan penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Fungsionalisasi hukum pidana didasarkan pada tujuan ekonomi dan penegakan hukum, yakni untuk mengurangi seminimal mungkin biaya sosial (social cost) yang merugikan bagi para korban akibat dari pelanggaran hukum tersebut. Robert Cooter dan Thomas Ulen menegaskan dengan ungkapan, criminal law should minimize the social cost of crime, which equals the sum of the harm it causes and the costs of preventing it. Artinya, hukum pidana harus membayar biaya sosial kejahatan minimal sama jumlahnya dari pelanggaran yang disebabkan pelanggaran itu dan biaya pencegahannya.
Biaya sosial yang harus dikeluarkan dalam rangka fungsionalisasi hukum atas setiap pelanggaran hak cipta dapat berkurangnya apresiasi masyarakat terhadap makna perlindungan hukum mana kala penegakan hukum vang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak mencapai sasarannya untuk mengurangi kuantitas dan kualitas pelanggaran hukum terhadap hak cipta. Biaya sosial tersebut terutama akan dirasakan oleh para pencipta, karena merasakan tidak terlindungi hak-haknya sebagai penemu atau pencipta. Hal ini akan merugikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra karena para pencipta tidak bergairah lagi untuk meningkatkan karya ciptanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar